Mengapa Peninggalan Bersejarah Kerajaan Pajajaran Sangat Sedikit?
Karena setelah berpindah pusat kerajaan dari Ciamis ke Bogor (Pakuan) sejak tahun 1482, tantangan jaman yang dihadapi Pajajaran tidak mudah dimana mereka harus menghadapi banyak peperangan melawan kerajaan-kerajaan Islam seperti Banten, Demak dan Cirebon. Mereka juga "tidak hobi" membangun candi-candi berbahan batu andesit yang "lebih tahan bencana". Bekas Istana Pajajaran (Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati) sendiri sempat ditemukan dalam keadaan kosong diselimuti hutan lebat oleh ekspedisi VOC yang dipimpin Pieter Scipio Van Oostende pada tahun 1687 setelah 1 abad lebih dihancurkan Kesultanan Banten pada tahun 1578. Sayang pada tahun 1699 bekas istana tersebut tersapu bencana dahsyat meletusnya Gunung Salak yang diikuti gempa bumi besar, sehingga hanya menyisakan sedikit artefak yang kita kenal sekarang seperti Prasasti Batu Tulis, Batu Congkrang dan Situs Purwakalih di seputaran Jalan Batutulis Kota Bogor.
Pajajaran mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi yang bertahta tahun 1478-1521 saat ibukota kerajaan dipindahkan ke Dayo Pakuan yang menurut catatan perjalanan Suma Oriental karya penjelajah Portugis yang mengunjunginya pada tahun 1515, Tome Pires, diperkirakan berpenduduk 50.000 jiwa dan terlihat sebagai negeri yang makmur. Dayo Pakuan terdiri dari 5 "distrik" utama : 1. Komplek Sri Bima (diperkirakan berada di Komplek Pakuan Tajur sampai Asrama ABRI Sukasari/ex Batalyon 3/PGT Resimen Tjakrabirawa); 2. Komplek Suradipati (dari Pabrik Boehringer Ingelheim sampai Jl. Batutulis); 3. Komplek Punta (dari Jl. Jero Kuta Kidul sampal Jl. Layungsari); 4. Kompek Narayana (dari Jl. Batutulis sampai Gang Aut), dan 5. Komplek Madura (dari Gang Aut sampai Jl. Empang). Tempat tinggal raja diperkirakan di Komplek Suradipati, tidak jauh dari Prasasti Batutulis sekarang.
Tome Pires mendeskripsikan Dayo Pakuan sebagai kota terbesar kedua di Nusantara pada abad ke-16 setelah Demak, dimana rajanya tinggal di istana yang disangga 330 buah tiang berdiameter sebesar tong anggur setinggi 9 meter dan rakyatnya tinggal di rumah-rumah kayu dan bambu beratapkan palem.
Lada : si raja rempah yang mengawali runtuhnya Pajajaran
Pada tahun 1513, Prabu Siliwangi (Raja Pajajaran yang bertahta di Pakuan tahun 1482-1521) memerintahkan putra mahkotanya, Surawisesa, untuk menjalin kontak dengan Portugis di Malaka. Siliwangi memandang jaman sudah berubah. Perdagangan rempah-rempah di Nusantara ketika itu sedang menuju puncak kejayaannya. Harga pala bahkan mencapai 125%-nya harga emas untuk berat yang sama dan harga 1 kg cengkeh setara dengan 7 gram emas di Pasar Eropa. Siliwangi ingin memakmurkan Pajajaran dengan ikut andil secara langsung dalam pusaran perdagangan maritim dunia karena menurutnya, beliau dan para leluhurnya adalah “raja petani” yang berfokus pada kegiatan agraris. Siliwangi ingin mempersiapkan penerusnya sebagai “raja pedagang” yang terlibat langsung dalam perdagangan global.
Kunjungan diplomatik tersebut kemudian ditindaklanjuti pada tanggal 21 Agustus 1522 ketika Surawisesa bersama Enrique Leme dan tujuh orang perwakilan Portugis lainnya menyepakati perjanjian persahabatan Pajajaran-Portugis yang disahkan dengan Batu Padrao di Pelabuhan Sunda Kelapa (sekarang tersimpan di Gedung A Museum Nasional) yang menjadi perjanjian internasional pertama di Nusantara. Dalam perjanjian ini disepakati kerjasama militer antara kedua belah pihak, ijin bagi Portugis untuk mendirikan benteng di Banten dan Sunda Kelapa, serta Pajajaran mengirimkan 1.000 karung lada setiap tahunnya.
Keputusan politik strategis sekaligus terbilang berani ini membawa konsekuensi Pajajaran harus siap menyambut genderang perang dari Kesultanan Demak bersama para sekutunya, Cirebon dan Banten. Tidak lama setelah Siliwangi madheg pandhita dan Perjanjian Padrao Sunda Kelapa disahkan; Kerajaan Galuh, Rajagaluh dan Talaga yang merupakan kerajaan vasal sekaligus benteng Pajajaran di bagian timur yang berbatasan dengan Cirebon berhasil ditaklukkan Kesultanan Cirebon pada tahun 1526-1531. Cirebon memerangi Pajajaran sebagai langkah pre emptive strike karena khawatir nasib kota-kota pesisir Jawa akan dikuasai Portugis sebagaimana Maluku, Pasai dan Malaka. Pelabuhan Sunda Kelapa pun jatuh ke tangan Demak-Cirebon pada tahun 1527. Perjanjian damai antara Cirebon dan Pajajaran kemudian ditandatangani pada tanggal 12 Juni 1531 dengan posisi kekalahan di pihak Pajajaran yang dipimpin Surawisesa versus Cirebon yang dipimpin Sunan Gunung Jati setelah kedua belah pihak berhadap-hadapan secara langsung dalam 15 kali pertempuran di Palagan Ancol Kiyi, Kalapa, Tanjung, Banten Girang, Gunung Batu, Saunggaung, Rumbut, Gunung Banjar, Panggoakan, Muntur, Hanum, Pagerwesi dan Medangkahiangan pada kurun waktu 1521-1535.
Pajajaran sendiri akhirnya harus sirna pada tahun 1579 atau 58 tahun setelah mangkatnya Siliwangi pada tahun 1521. Selain serangan bertubi-tubi dari musuh-musuhnya yang tidak suka Pajajaran dekat dengan Portugis, rusaknya birokrasi internal juga memicu keruntuhan Pajajaran setelah dipimpin oleh cucu Siliwangi, Ratu Sakti (bertahta tahun 1543-1551). Kesejahteraan rakyat yang selalu diperjuangkan Siliwangi dan Surawisesa, gagal dipertahankan pada masa pemerintahan Ratu Sakti sehingga kriminalitas merajalela dan stabilitas keamanan negara merosot drastis; sampai akhirnya Pajajaran runtuh pada tahun 1579.
Lada (Pepper nigrum, L) yang disebut-sebut sebagai raja rempah karena mampu membuat masakan memiliki citarasa yang lebih nikmat dan bernilai ekonomis tinggi pada masanya ini merupakan tanaman perkebunan yang dimanfaatkan sebagai rempah-rempah penyedap rasa masakan di seluruh penjuru dunia. Saat ini dengan kebutuhan dunia mencapai 280.000 ton/tahun, terdapat lima negara eksportir utama lada yaitu Vietnam (46,01%), Brazil (14,82%), Indonesia (13,22%), India (3,44%) dan Uni Emirat Arab (2,83%).
Tanaman yang diduga berasal dari Pegunungan Ghats di Kerala India dan dibawa masuk para pedagang Malabar India sejak abad ke-14 ini sempat memberikan kejayaan kepada 2 kerajaan Nusantara, Kesultanan Banten dan Kesultanan Aceh pada abad ke 17 sampai 19. Namun persaingan untuk memperebutkan rempah-rempah akhirnya menimbulkan konflik dan pertumpahan darah. Di Kesultanan Banten contohnya, meskipun pada tahun 1603 VOC mengimpor lada dari Pelabuhan Banten (yang berasal dari daerah taklukannya seperti Palembang, Lampung dan Bengkulu) sebanyak 259.200 pon atau 117,57 ton ini selain menimbulkan perang saudara (Sultan Ageng Tirtayasa vs anaknya sendiri Sultan Haji yang dibantu VOC pada tahun 1681), budidayanya secara masif di sepanjang DAS Cibanten juga menyebabkan sedimentasi tinggi sehingga terjadi pendangkalan pelabuhan yang membuat kapal-kapal besar tidak dapat merapat di Pelabuhan Banten.
Meskipun berhasil naik tahta, di sisi lain dukungan VOC kepada Sultan Haji menjadi awal mula kehancuran Kesultanan Banten, karena banyak poin perjanjian dengan VOC yang merugikan Banten, misalnya :
- Sultan Banten tidak diperbolehkan memberi bantuan kepada musuh-musuh VOC dalam bentuk apapun.
- Semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tangerang menjadi milik VOC.
- Sultan harus mengganti kerugian sebanyak 12.000 ringgit kepada VOC.
- Sultan dilarang membuat perjanjian dengan bangsa lain.
- Kekuasaan raja Cirebon ditinjau kembali sebagai sahabat yang bersekutu di bawah perlindungan VOC.
- Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC.
Seiring berjalannya waktu, rempah-rempah, yang persiapannya tidak mudah (harus diuleg, dikeringkan, dicampur/racik) gagal mengubah statusnya dari barang status menjadi barang konsumsi massal. Selain itu, rempah-rempah yang tadinya bukan hanya barang status tapi juga pengawet/penghilang bau makanan pun kehilangan kegunaannya yang satu ini, karena dari revolusi industri inilah lahir penemuan yang sangat berguna dalam menghambat pembusukan bahan makanan : kulkas atau lemari es. Ya, kulkas adalah penemuan yang dimaksud, yang ditemukan untuk skala industrial/pabrikan di tahun 1830–1850an, dan mulai tahun 1910an dijual untuk skala rumahan. “Selesai” deh tuh kejayaan rempah-rempah.
Saat ini petani lada menghadapi beberapa tantangan seperti minimnya ketersediaan input produksi, rendahnya adopsi dan diseminasi teknologi di tingkat petani, pemerliharaan dan perawatan tanaman yang kurang maksimal, fluktuasi harga, gangguan Organisme Pengganggu Tanaman, kegiatan panen dan pasca panen yang tidak sesuai dengan Good Handling Practices, sampai minimnya pengolahan produk hilir lada. Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian berupaya melakukan beberapa hal seperti diversifikasi produk dan pengembangan pasar ekspor, meningkatkan harga pembelian di tingkat petani, serta mengedepankan sertifikasi indikasi geografis, sertifikasi organik dan sertifikasi halal ke negara tujuan ekspor.
oleh :
Comments
Post a Comment